Review: Ayat Ayat Cinta 2 | Film yang KEHILANGAN arah



Producer                 : Manoj Punjabi
Director                  : Guntur Soeharjanto
Scriptwriter            : Alim Sudio, Ifan Ismail, Habiburrahman El Shirazy
Cinematographer    : Yudi Datau
Art Director            : Allan Sebastian
Editor                      : Cesa David Luckmansyah
Music Designer      : Tya Subiakto



Cerita
                Ayat Ayat Cinta 2 sepertinya menjadi film yang paling di tunggu-tunggu tahun ini, bagaimana tidak, siapa yang ingat dobrakan bombastis yang di ciptakan oleh sequel film pertamanya Ayat Ayat Cinta? Pada tahun 2008 seluruh Indonesia diperkenalkan oleh bentuk visual dari Fahri dan Aisyah, sampai pada akhirnya tahun 2017 kita semua bisa kembali menyaksikan kisah mereka berdua. Tapi sayang sekali, sepertinya AAC 2 garapan Sutradara Guntur Soeharjanto kurang memberikan gigitan seperti yang diberikan oleh Hanung Bramantyo pada AAC 1
                Masih sama, cerita yang di ambil berasal dari novel karya Habiburrahman El Shirazy(Ayat Ayat Cinta 2) lalu kembali di tulis dalam bentuk film oleh Alim Sudio dan Ifan Ismail. Cerita dalam film ini terkesan seperti kumpulan segmentasi kejadian ketimbang menjadi kesatuan film yang utuh, kejadian demi kejadian tidak memiliki relasi yang kuat sehingga menimbulkan Sub-Plot yang sangat banyak dan menjadikan film ini terkesan tidak memiliki arah. Iya tau, intinya Fahri(Fedi Nuril) masih berharap akan kembalinya Aisyah kedalam hidupnya, lalu selama penantiannya ia dihadapkan oleh banyak godaan dari wanita lain. Tapi? Bukan hanya itu, banyak kejadian-kejadian yang usut punya usut sebenarnya ingin membangun karakter Fahri tapi ternyata, kejadian tersebut malah menjadi cerita yang tidak terlalu penting bahkan kurang berarti untuk kelangsungan film. Dengan banyaknya segmentasi kejadian dalam film ini, gue sangat percaya novel AAC2 ini pasti keren dan bagus banget! Yakin! Tapi sayang, ego dalam film ini masih tinggi, terlalu memaksakan apa yang seharusnya tidak di perlukan dalam film malah mereka tambahkan, sehingga film ini menjadi film yang ngambang sampai ke pertengahan film.
                Mulai dari pertengahan film sampai akhir, barulah terasa gigitan-gigitan kecil yang di tawarkan film ini, setelah kumpulan segmentasi berlalu, akhirnya film ini telah menemukan fokusnya, karena development yang dari awal di sia-siakan, maka dari itu kekuatan cerita untuk mengantarkan ke penghujung film terasa hambar atau “gitu saja” sangat di sayangkan untuk sekelas film AAC memiliki development yang kurang matang.
                Belum lagi banyak kejadian disini yang kesannya seperti sinetron, tidak penting, dan kurangnya riset mendalam. Walau secara garis besar film ini kita bisa menebak endingnya, namun gue masih bisa merasakan kejutan yang mereka coba berikan, dan kejutan itu berhasil membuat plot-twist untuk film ini. Tapi, jika saja development cerita film ini di siapkan dengan baik lagi, plot-twist yang dihadirkan pastinya akan lebih menggigit lagi sensasinya.
Rating: 4.2/10

Visual
Campur tangan sang sinematografer Yudi Datau sangat memberikan impact yang besar atas kualitas film ini, sajian Visual yang ciamik di tambah sang penata artistik bang Allan Sebastian. Jujur saja, gue sangat terpukau oleh sajian set&props, kostum film ini, sangat memanjakan mata. Wajar saja saat di akhir film gue menemukan nama Allan Sebastian sebagai Penata Artistik
                Entah gue yang terlalu peka atau memang sangat terlihat jelas, sepertinya Contuinity dalam film ini mengalami kebocoran yang lumayan “sadis”, hal tersebut tentu saja sangat menganggu mata untuk mereka(dan gue) yang menyadari akan Discontuinity dalam film ini, baik dalam hal Costume and Make up, properti, hingga kesinambungan shot ke shot selanjutnya yang kurang smooth.
                Yang seru dalam film ini adalah, film ini lumayan banyak menggunakan Top Angle untuk Establish Shotnya. Dalam film ini, gue menemukan 2 alasan dari Top Angle tersebut. Satu,  sutradara ingin menunjukan kemegahan isi ruangannya atau kedua, sutradara ingin bermain aman dalam membentuk garis imajinernya.
Rating: 7.2/10

Audio
Scoring film ini memiliki komposisi instrumen yang megah dimana hal tersebut mampu membangun film ini menjadi lebih mewah, di tambah OST dalam film ini cukup membuat kita para penonton sedikit baper dan ikut terbawa oleh lagu-lagu pengiring adegan yang membuat kita menitihkan air mata. Best experience, ketika musik dan film menyatu di dalam bioskop, jarang sekali film indonesia yang mampu memberikan experiene seperti itu, dan film AAC2 ini ternyata mampu menyatukannya
Rating: 6.8/10

Characters
                Gak tau deh kenapa tetangga-tetangga pada bilang akting para pemain pemain sangat memukau dan berada dalam porsi yang pas. Tapi dalam pandangan gua, para pemain memang sudah hidup dalam karakternya dengan baik, namun directing nya om Guntur kurang menyatukan mereka semua sehingga menjadi seperti pertunjukan teater kelas SMA. Belum lagi beberapa tokoh yang berlaga ala sinetron juga di terapkan dalam film ini, sangat disayangkan untuk film sekelas AAC 2 ini. Beruntung saja banyolan 2 sejoli ini Misbah(Arie K. Untung) dan Hulusi (Pandji Pragiwaksono) menjadi penyelamat kebosanan nyawa karakter di film ini, tidak berlebihan dan berada di jalur yang pas!
                Kurangnya build characters film ini tak lepas dari kurangnya development cerita film ini, lagi-lagi hal tersebut sangat di sayangkan.
Rating: 5/10

THIS IS THE END OF THE REVIEW

Ayat Ayat Cinta 2 sepertinya kehilangan fokus akan berdiri dimana. AAC2 cukup untuk menjadi hiburan di akhir tahun 2017 ini, namun kurang mampu untuk menyelimuti rasa rindu kita terhadap film Ayat Ayat Cinta pertama pada tahun 2008 silam.

Ayat Ayat Cinta 2 got  2.8/5 from me
Previous
Next Post »